Berapa Lama Wanita Sanggup Menahan Syahwatnya ??

"Hafshah puteriku, berapa lama seorang wanita sanggup menahan gejolak syahwatnya?".......Dua atau tiga bulan. Paling lama empat bulan wahai Ayah...!"

Sejak dialog bersejarah dengan puterinya ini, Amirul Mu'minin 'Umar menggariskan kebijakannya bagi pasukan jihad : pergiliran pasukan tiap shift, tak boleh lebih dari 4 bulan. Mereka harus punya waktu jeda untuk pulang menemui isterinya. Semalam, sang Khalifah telah mendengar syair yang digumamkan seorang wanita dalam gejolak rindu pada suami yang ada di garis depan.

Islam mensyariatkan hubungan pernikahan agar menjadi hubungan yang langgeng, abadi dan tidak runtuh. Di dalamya tumbuh kesepahaman dan mengikis perbedaan. Pedoman-pedoman umum rumah tangga juga ditetapkan, supaya ketenangan dan stabilitas menaungi keberadaan sebuah keluarga. Dan pernikahan merupakan jalinan ikatan yang kuat lagi sakral dalam Islam. Allah menamakannya sebagai mitsâq ghalîzh (perjanjian yang kuat).

Karenanya, masalah-masalah yang berkembang seputar pernikahan mendapatkan perhatian yang besar, tidak dibiarkan tanpa tuntunan. Dengan demikian, pengaruh hawa nafsu dapat dihalau dari pasangan suami istri. Dan mereka pun mengemudikan biduk rumah tangga dengan tuntunan yang jelas.


Pembagian Tugas:

Pembagian tugas antara suami istri sudah digariskan. Yaitu dengan mempertimbangkan tabiat dan keadaan masing-masing. Yakni dengan mengedepankan asas keadilan dan petunjuk yang lurus. Allah berfirman, yang artinya:

"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". [al-Baqarah/2:228].

Sebagaimana juga Islam telah berpesan agar kasih sayang dan rasa cinta selalu menghiasi kehidupan rumah tangga, kebaikan dan kebersamaan mengiringi suami istri. Allah berfirman, yang artinya:

"Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak". [an-Nisâ`/4:19].

Perbedaan-perbedaan yang masih bisa ditolelir agama, tidak akan melahirkan persoalan, selama masing-masing menjaga muamalah dengan pasangannya secara ma'ruf (baik). Bergaul dengan penuh kelembutan dan sabar. Suami memuliakan istri, dan begitu sebaliknya. Bisikan hawa nafsu dan ego pribadi harus dijauhkan sedemiikian rupa. Karena salah satu faktor yang sering menghancurkan keutuhan rumah tangga ialah senangnya mencari-cari kesalahan, kekeliruan, kelemahan pasangannya dan mengungkit-ungkitnya, bahkan kemudian suka memperbesar persoalan yang sebenarnya sederhana. Hingga terkadang, karena emosi yang memuncak, masing-masing tidak bisa mengontrol jiwa dan mental, serta dengan intervensi orang-orang yang tidak berkepentingan.

" Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untuk kalian dari anfus (jiwa-jiwa) kalian sendiri, azwaaj (pasangan hidup), supaya kalian ber- sakinah kepadanya, dan dijadikanNya di antara kalian mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (Ar-Ruum 21). Inilah yang kita punya. Inilah manhaj yang seharusnya kita jadikan alur. Sedihnya, kebanyakan mereka yang mencantumkannya dengan tinta emas diatas undangan mewah tak menghayati maknanya



Ada beberapa kata kunci pada Surat Ar Ruum ayat 21 :

1. Min anfusikum. Dari jiwa-jiwa kalian, artinya hal pertama yang dibicarakan Al Quran tentang pernikahan dua manusia adalah Kesejiwaan. Ruh itu, kata Nabi seperti tentara. Jika kode sama, sandinya nyambung, meskipun belum saling melihat mereka pasti bersepakat. Nah apa sih kode dan sandi untuk ruh ? Komitmen kepada Allah dan agamanya. Itu saja. Itulah kesejiwaan.

2. Azwaajan. Pasangan Hidup, sesudah kesesuaian jiwa, Al Quran segera mengatakan bahwa mereka menjadi suami isteri. Orang selalu berfikir, "bahwa kita harus mencari pasangan yang tepat, maka hubungan akan berhasil." Mari kita katakan," Berhentilah mencari orang yang tepat, dan jadikan orang disampingmu yang memang hebat itumenjadi orang yang tepat."

3. Wa ja'ala bainakum mawaddatan. Kemudian ada yang harus diproses, diupayakan, yakni mawaddah. Cinta yang erotis-romantis. Bentuknya bisa ekspresi yang paling bathin sampai paling zhahir, dari yang sifatnya emosional hingga seksual. Inilah Mawaddah.

4. Wa (ja'ala bainakum) rahmatan. Yang harus diusahakan bukan cuma mawaddah tapi juga rahmah. Inilah cinta yang memberi bukan meminta, berkorban bukan menuntut, berinisiatif bukan menunggu, dan bersedia bukan berharap-harap.

Termasuk bergaul dengan ma’ruf adalah seorang suami tidak bepergian meninggalkan istrinya dalam waktu yang lama. Adalah merupakan hak istri untuk menikmati pergaulan suaminya, sebagaimana seorang suami menikmati pergaulan dengan istrinya. Namun terkadang sepasang suami istri terpaksa “berpisah” dalam waktu lama dengan alasan suami harus mencari pekerjaan di kota lain, atau bahkan di luar negeri untuk menghidupi keluarganya. Atau suami harus bepergian lama dengan alasan tugas/dinas, atau suami merantau ke negeri orang dalam rangka mencari ilmu.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t berkata, “Bila seorang istri ridha dengan kepergian suami walaupun dalam masa yang lama, maka itu merupakan hak istri. Si suami tidaklah berdosa. Namun dengan syarat si suami meninggalkan istrinya di tempat aman, yang tidak dikhawatirkan akan terjadi apa-apa pada istrinya. Apabila seorang suami pergi jauh untuk mencari rizki dalam keadaan istrinya ridha maka suami tersebut tidak berdosa walaupun ia tidak pulang hingga dua tahun atau lebih. Adapun bila si istri menuntut haknya agar suaminya kembali/pulang, maka perkaranya dalam hal ini dikembalikan kepada mahkamah syar’iyah. Apa yang ditetapkan mahkamah syar’iyah maka itulah yang dilaksanakan.” (Fatawa Nurun ‘Alad Darb, hal. 17).

Dengan demikian, bila istri ridha untuk sementara berjauhan dengan suaminya baik dalam waktu singkat ataupun waktu yang lama, dan masing-masing dapat menjaga kehormatan diri, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Namun bila si istri khawatir dirinya atau suaminya akan terjatuh ke dalam fitnah meski ada kebutuhan untuk mencari penghidupan, ia bisa menuntut untuk berkumpul kembali dalam rangka menjaga kehormatan diri dan menjaga kemaluan. Akan tetapi bila si suami enggan untuk segera kembali, istri dapat mengangkat perkaranya kepada hakim agama (mahkamah syar’iyah) agar memutuskan perkara antara dia dan suaminya sesuai dengan apa yang Allah k syariatkan. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, fatwa no. 1545, 19/339, 340)

Berapa Lama Seorang Suami Diperkenankan Meninggalkan Istrinya?

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Batasan yang ditetapkan secara syar’i tentang perginya suami meninggalkan istrinya adalah selama empat bulan, tidak boleh lebih. Kecuali bila si istri ridha, dengan catatan aman dari fitnah baik bagi si istri maupun bagi si suami. Terkecuali orang yang dipaksa oleh keadaan darurat untuk pergi dalam waktu yang lama, maka ia diberi udzur karenanya.

Dalam masa kepergiannya itu, ketika memungkinkan bagi si suami untuk kembali guna bertemu istrinya, menjaganya dan menunaikan kebutuhannya maka wajib baginya untuk kembali. Khususnya di zaman kita ini, yang banyak terjadi fitnah dan perkara-perkara menipu yang dapat merusak akhlak. Maka tidak sepantasnya suami berjauhan dari istrinya kecuali karena kebutuhan dan karena darurat disertai keinginan yang besar untuk cepat-cepat menyelesaikan keperluan lalu segera kembali kepada istri sesuai kesempatan yang ada.” (Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, 3/248).



Spoiler for Hak Istri:

Sebagaimana yang kita maklumi, seorang istri tidak hanya berhak mendapatkan nafkah lahir, namun juga nafkah batin. Sehingga seorang suami tidak cukup sekadar mencukupi kebutuhan lahiriah istrinya berupa sandang, pangan, dan papan. Namun juga harus menaruh perhatian terhadap kebutuhan batin istrinya. Bila ia bepergian dalam waktu lama berarti kebutuhan yang satu ini akan terabaikan. Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-’Ilmiyyah wal Ifta`(Komisi Tetap untuk Pembahasan dan Fatwa, Dewan Ulama Besar, KSA) yang saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz t, ketika ditanya tentang berapa lama seorang istri harus bersabar ditinggalkan suaminya tanpa memperoleh nafkah batin, memberikan jawaban, “Masa yang mungkin bagi seorang istri untuk bersabar dalam masalah jima’ secara umum adalah empat bulan. Empat bulan ini adalah masa yang ditetapkan secara syar’i bagi seorang yang meng-ilaa` istrinya, yaitu suami yang bersumpah tidak akan menggauli istrinya. Waktu empat bulan ini lebih pantas ditetapkan sebagai batasan waktu seorang istri dapat bersabar tidak mendapat nafkah batin dari suaminya. Allah k berfirman:

“Bagi orang-orang (para suami) yang meng-ilaa` istrinya diberi tangguh empat bulan. Kemudian bila mereka kembali kepada istrinya (mau kembali menggauli istrinya) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” (Al-Baqarah: 226) [Fatwa no. 606, 19/338, 339]


Category Article ,

Related Post